Suatu perubahan yang besar bisa dicapai dengan memulai perubahan-perubahan kecil yang dilakukan. Sebagai salah satu contoh adalah gebrakan yang dilakukan Earth Hour dalam menjalankan misinya. Earth Hour merupakan sebuah gerakan global untuk perubahan iklim. Memiliki komitmen untuk mengajak semua lapisan masyarakat berperan aktif menjaga bumi. Hal ini secara nyata tentu bisa tercapai dengan mengubah gaya hidup manusia demi kelestarian bumi.
Beberapa hal sederhana yang bisa dilakukan, misalnya, menghemat salah satu sumber energi. Listrik. Mematikan lampu ruangan ketika tidak ada orang di dalamnya, mengurangi penggunaan AC, dan mencabut charger gadget usai digunakan adalah hal yang bisa dilakukan. Terlihat sepele, tetapi tanpa disadari hal tersebut sangat besar pengaruhnya bagi bumi. Dan bayangkan jika tidak hanya 1 orang, melainkan 10, 100, 200, bahkan jutaan orang yang melakukan itu. Artinya, kita berhasil menghemat energi demi kelestarian bumi. Lalu, Earth Hour bertekad bahwa ini tidak dianggap hanya sebagai selebrasi atau seremonial semata, yang hanya dilakukan sekali setahun, tetapi menjadi gaya hidup. Sudah saatnya mengubah gaya hidup, dari yang tidak peduli lingkungan, menjadi peduli.
Luar biasa semangat untuk perubahan perilaku yang digagas oleh Komunitas Earth Hour. Ini mungkin juga bisa menjadi inspirasi bagi semua pelaku program pemberdayaan, mulai dari pemangku kebijakan (baca: pemerintah) sampai kepada pelaksana kebijakan (baca: masyarakat). Dan tidak salah juga ketika keberlanjutan PNPM Mandiri Perkotaan, yang sudah belajar melakukan perubahan perilaku masyarakat dari yang tidak berdaya menjadi berdaya dan mandiri serta menuju madani, menjadi embrionya P2KP yang menggagas pendataan mandiri berbasis masyarakat melalui Baseline 100-0-100. Pendataan tersebut harus bisa dibaca hasilnya dengan P2KKP, dan kelak hasilnya akan diwujudkan dalam penanganan kumuh berbasis masyarakat melalui program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU).
Perubahan dari etape PNPM menuju KOTAKU luar biasa dan panjang prosesnya. Pelibatan atau partisipatif masyarakat juga luar biasa, dengan eksisnya kelembagaan BKM/LKM menjadi nakhoda dan motor penggerak perubahan perilaku di tingkat masyarakat. Saling peduli antara sesama, diwujudkan dengan lahirnya KSM-KSM di tingkat masyarakat sebagai media belajar bergerak dan maju bersama, membangun masyarakat dan lingkungannya menuju rasa keadilan yang berkemakmuran.
Biaya mewujudkan cita-cita dan gagasan program sangatlah mahal, baik dari pemerintah, kaum peduli, relawan maupun masyarakat. Namun, kembali pada semangat yang dicerminkan Komunitas Earth Hour, pemerintah, kaum peduli, relawan dan masyarakat sudah melakukan dari hal terkecil menuju pada cita-cita dan gagasan yang lebih besar. Dengan PNPM, masyarakat saat itu belajar menyelesaikan masalah menjadi potensi yang harus dikembangkan dan bisa dimanfaatkan oleh orang banyak, terutama warga miskin, yang masih berbasis lingkungan.
Akan tetapi, di KOTAKU ini, masyarakat diajak menuju cita-cita dan gagasan yang lebih besar serta kompleks, untuk menyelesaikan masalah dan potensi berbasis kawasan dari hasil Baseline 100-0-100. Seperti halnya menyelesaikan masalah kekumuhan, upayanya tidak cukup hanya sebagai target pemerintah untuk menuntaskan 0% kawasan kumuh, tetapi juga harus menjadi gerakan bersama yang tercipta di masyarakat. Menjaga kawasan permukiman mereka tetap bersih dan sehat demi kelanjutan hidup generasi berikutnya.
Apalagi dalam KOTAKU, yang menjadi sang nakhoda adalah Pemerintah Daerah (Pemda). Pemdalah yang bertanggung jawab dalam perencanaan dan pelaksanaan program penanganan permukiman kumuh. Pemerintah pusat dalam hal ini hanya berperan sebagai pendamping daerah dan menciptakan kondisi kondusif untuk mendukung upaya penanganan kawasan kumuh, sesuai dengan amanah UU No.1 Tahun 2011 dan Permen PU No.1 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM) bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang.
Kedua payung hukum ini yang harus ditegaskan oleh pihak pusat kepada Pemda pelaksana amanah dalam Sosialisasi Nasional dan Workshop Nasional Program KOTAKU pada 26-29 April 2016. Sehingga, kelak program KOTAKU terlaksana dengan baik, dan kemanfaatannya sesuai sasaran program.
Setelah mengikuti serangkaian kegiatan Sosnas program KOTAKU, Pemda, bupati/wali kota, Bappeda dan dinas PU, bisa langsung beraksi menjadi nakhodanya penanganan dan pencegahan kawasan kumuh berbasis masyarakat di masing-masing kota/kabupaten. Ini sejalan dengan hasil bahasan dari Habitat II Istanbul Turki 1996 (Sustainable Human Settlements in an Urbanizing World), bahwa pemberdayaan pemangku kepentingan bidang permukiman termasuk perempuan dan pemuda (isu gender and youth) serta keterlibatan organisasi masyarakat (pelibatan kelembagaan BKM/LKM, dan lain-lain) merupakan perubahan paradigma peran pemerintah dari penyedia (provider) menjadi pemberdaya (enabler).
Dan semangat perubahan tersebut bisa menjadi gerakan bersama tidak sekedar seremonial belaka untuk menyukseskan Program KOTAKU dengan Pemda sebagai nakhodanya, partisipasi masyarakat juga sebagai kunci keberhasilan. Kolaborasi komprehensif sebagai visi dan misinya, sehingga terintegrasilah rencana penanganan kawasan kumuh berbasis masyarakat yang menjamin keamanan bermukim sehat dan sejahtera menuju kota tanpa kumuh, sesuai dengan arahan RPJMN III “competitiveness”, semangat menuju permukiman 100-0-100.
Ini adalah ikhtiar belajar dari perubahan program yang kita lakukan bersama, mulai dari tingkat masyarakat, kelompok peduli, perguruan tinggi, LSM dan Pemda, yang dimulai dari hal terkecil atau sepele. Yakni, membangun kembali semangat gotong royong menuju semangat pembangunan perkotaan berkelanjutan. Termasuk di dalamnya penanganan kawasan kumuh berbasis masyarakat, menuju kota tanpa kumuh. [Jatim]

Tidak ada komentar:
Posting Komentar